Julukan Tituler `Batara Guru` Kepada Pargonsi, Kini Telah Sirna

Gondang (Foto: koleksi FB Manguji)

Oleh: Manguji Nababan*

JAKARTA, Kalderakita.com: Pada awalnya, gondang dan bunyi yang dihasilkannya digunakan terbatas dalam fungsi ritual. Gondang dan tonggo digunakan menjaga harmoni mikro dan makro kosmos yakni peribadatan kepada dewa-dewa yang diyakini orang Batak pra kristen.

Dulu, dalam konteks sosial,  profesi  pargonsi adalah kaum profesional dengan stratifikasi amat terhormat. Sebab dalam ritual habatahon, pargonsi diyakini mampu melangitkan doa-doa takzim manusia kepada Mulajadi Nabolon.

Namun begitu, sikap hormat kepada pargonsi bukanlah bersifat permanen, sebab rasa hormat kepada pargonsi dengan julukan Batara Guru, itu hanya berlaku pada saat upacara adat/ritual dimana mereka sebagai pemain musik.

Julukan partaganing disematkan sebagai Batara guru humundul sedangkan Batara guru Manguntar julukan Parsarune. Kedua orang ini dianggap sebagai representasi "dewa". Hal ini secara religi kuno diyakini bahwa pargonsi adalah perantara penghantar puji dan puja kepada sang khalik.

Sebutan hormat  kepada pargonsi terlihat dalam seruan paminta gondang.

"Ale amang panggual pargonsi, Batara Guru Humundul, Batara Guru Manguntar. Na ginongkon manogot nitaruhon botari. Parindahan na suksuk parlompan na tabo. Paralualuan na tingkos, partarias na malo, dst..."

Dahulu, untuk meminta sekaligus untuk mengundang pargonsi (partaganing dan panarune) tidak boleh sembarangan. Dalam mengundang pargonsi,  yang punya hajat mendatangkan pargonsi secara ritual adat. Permohonan dengan suguhan "napuran tiar" di dalam tandok. Bandingkan dengan sekarang, pemusik bisa dipesan melalui telepon atau SMS saja.

Dahulu, jambar (juhut)  bagi pargonsi menurut J.C Vergouen, gonting atau sombasomba untuk partaganing. Aruaru atau leher untuk parsarune, botohon atau soit untuk pemain doal. Pat atau Kaki untuk pemain hesek dan pemain lainnya dari bagian pohu.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, gondang sabangunan dus stratifikasi yg agung bagi pargonsi tersebut sudah sirnah. Sekarang ini, tolok ukur apresiasi bagi Pemusik sudah bergeser dari sisi materi saja.

Musik tradisi batak semakin tidak memiliki ruang di kalangan pemiliknya. Musik pada upacara adat bukan lagi mermakna sakral-religius namun sudah bergeser menjadi sekadar pesta,  minus makna dan nilai Filosofi. Sepertinya orang Batak sekarang dalam setiap helat, bukan lagi melakukan ADAT namun sudah lebih melakukan nuansa PESTA. Tragis memang!

Sehingga mencermati hal tersebut, perlu modifikasi dan adaptasi dalam revitalisasi gondang dan pargonsi. Fungsi ritual dan komunikasi yang dinarasikan pargonsi sudah diambil peran gereja. Oleh karenanya perlu upaya internalisasi nilai gondang sabangunan dan pargondang ke dalam kehidupan kekinian.

Apresiasi ke pemusik yang bersifat material tidak ada salahnya. Namun tidak harus dalam bentuk jambar (daging) lagi namun berupa profesional fee berupa uang yang setimpal dengan ke 'empuan' dia dalam bermain musik.

*Manguji Nababan adalah ahli sastra Batak.