JAKARTA, Kalderakita.com: Ekonom senior, Emil Salim, menyayangkan keputusan pemerintah memberi izin PT Tambang Mas Sangihe (TMS) untuk melakukan kegiatan pertambangan di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
TMS adalah gabungan perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation yang merupakan pesaham mayoritas sebesar 70 persen, dengan tiga perusahaan Indonesia.
Perusahaan ini mengantongi kontrak karya pertambangan emas di paruh selatan Pulau Sangihe seluas 42.000 hektar atau lebih dari setengah luas Pulau Sangihe beserta pulau kecil di sekitarnya yang memiliki luas total 73.698 hektar.
Operasi produksi PT TMS dikabarkan akan segera dimulai tahun ini.
“Separuh dari pulau itu menjadi tambang mas swata, Kanada, Masya Allah. Pulau kecil itu dibongkar separuh menjadi pertambangan mas dengan teknologi pakai racun. Ya, babak belur,” katanya dengan nada tinggi saat berbicara di webinar bertajuk ‘Hukum Lingkungan Indonesia dari Masa ke Masa’ yang diselenggarakan dalam rangka HUT ke-28 Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) , Kamis (22/7).
Pulau Sangihe memiliki keanegaragaman hayati yang tinggi.Ironisnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral justru mengeluarkan izin investasi yang membolehkan perusahaan melakukan kegiatan pertambangan emas.
Emil Salim mempertanyakan suara para pegiat lingkungan yang cenderung silent: “Mana suara lingkungan; mana teman-teman kita pejuang yang membela nasib pulau-pulau kecil?” gugatnya.
“Hati saya menangis, ada apa dengan tanah air kita ini sehingga committed penuh pada lingkungan di masa lampau sekarang justru memberi peluang kepada [perusahaan] semisal batubara dan minyak bumi untuk leluasa beroperasi.”
Saham-saham perusahaan batu bara dan minyak bumi naik di pasar saham. Investasi juga meningkat. Banyak perusahaan batubara Australia kini dibeli oleh [perusahaan] batu bara Indonesia. “Why?,” katanya.
Pulau Sangihe yang segera dijadikan tambang emas (foto: Kompas)
Padahal, lanjut mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 1978–1993, dunia tengah memperbincangkan ancaman CO2 dan berupaya mencapai target net zero emission pada 2050.
“Indonesia [malah] memilih 2060, dan kita semua silent. Ada apa? Mengapa kita kemudian menjadi hanya memikirkan resource exploitation. Babak belur! Kekuatan politik tidak ada [lagi] yang pro pada lingkungan,” katanya.
Pola Pembanguna Klasik yang Merusak Lingkungan
Menurut Emil Salim, kekuatan politik saat ini kembali mengadopsi pola pembangunan klasik yang mengedepankan upaya menaikkan income per capita, meningkatkan nilai devisa, mendorong peningkatan penerimaan perusahaan dan GDP.
“Ini menjadi bendera pekik perjuangan sekarang,” tukasnya.
Untuk itu ia meminta elemen civil society untuk ikut menghentikan kebijakan yang anti lingkungan.
“Saya melihat titik terang hanya pada civil society kita, seperti ICEL, Walhi, dan teman-teman masyarakat adat yang kakinya berpijak pada keyakinan dan pemahaman bahwa resources itu perlu untuk dilestarikan. Hati ini ingin minta tolong: Selamatkan lingkungan tanah air kita. Lama kita berjuang untuk lingkungan tetapi ujung jalan ini tidak terlalu cerah!” ujarnya.
Ekonom senior Emil Salim (foto: Kumparan)
Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini juga menitipkan pesan kepada semua gerakan masyarakat madani agar membangkitkan kepercayaan pemerintah pada perlunya sustainable development.
“Ini bukan persoalan pribadi. Ini persoalan antar generasi. 2045 harus kita selamatkan dengan menyelamatkan lingkungannya.”
Emil Salim sekali lagi memohon agar pegiat lingkungan turut membangkitkan kembali semangat pembangunan berkelanjutan dengan penegakan hukum lingkungan yang efektif dan tegas.
“Lingkungan bukan hanya untuk dibicarakan, dipidatokan, tapi dihidupkan sebagai bagian dari membantun tanah iar Indonesia dari Sabang sampai Merauki,” pungkasnya.