Tulisan-4
JAKARTA, Kalderakita.com: Halaman Balerong memang menjadi pelataran yang sangat luas selepas pembongkaran. Bila hari besar tiba, bus-bus pengangkut pelancong pun diparkir di sana. Dengan begitu, pekarangan warga di sepanjang lintasan Segitiga—kediaman Ompung Pangulu tak terlalu berjejal lagi.
Namun, Balerong sendiri kian lama semakin ujur dan dekil karena memang tanpa perawatan apalagi peremajaan. Ajaib, sama seperti di zaman pra-kemerdekaaan Indonesia, toiletnya tetap tiada hingga puluhan tahun berselang. Kalau pun ada biliknya, airnya tak tersedia. Sebuah ironi besar tentunya, terlebih jika mengingat kedudukannya sebagai jantung pasar besar.
Entah kalau sekarang sudah lain ceritanya; kalau dulu, orang yang sedang kebelet pilihannya dua saja: menumpang ke ruko terdekat atau mendekat ke sebelah pangkalan minyak kami yang letaknya di bibir danau. Yang terakhir inilah yang lebih disukai orang banyak jika Sabtu tiba sebab mereka tidak perlu permisi atau minta izin.
Tepat di sebelah pangkalan kami yang berdinding kayu, di atas batur [batu yang disusun di pinggir danau] orang pipis atau buang air besar begitu saja dengan mengabaikan pandangan mereka yang sedang berada di dalam kapal pada Sabtu, ari pokkan yang senantiasa ramai. Kalau saja premium, solar, dan minyak tanah yang menguap akibat hawa siang yang panas tak beraroma keras, kami yang di dalam bangunan berdinding kayu dan beratap seng—di tengahnya ada pohon kelapa yang dibiarkan tegak—tersebut niscaya mual kalau bukan muntah. Terlebih jika sedang makan siang.
Seiring peranjakan waktu, Balerong yang kian renta kemudian kehilangan dua fungsi utamanya yakni sebagai ajang bioskop keliling dan parpestaan [tempat pesta adat perkawinan].
Disain dan mutu bahan yang cekak (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Membanyaknya televisi di kitaran Parapat-Ajibata sejak awal dekade 1980-an—semula pesawat itu masih berkesing kayu, berkaki 4, dan berlayar hitam-putih yang terkadang dilapisi filter bergradasi agar terkesan berwarna—menjadi pukulan keras bagi pebisnis layar tancap asal Pematang Siantar yang saban Jumat malam—pukul 19.30 dan 21.30—memutar film di sana. Hunjaman melumpuhkan mereka rasakan setelah bioskop permanen akhirnya muncul. Parapat Theater namanya, lokasinya di dekat Panunsian [tempat cuci mobil] milik pegusaha terkemuka NO Purba (ayahanda Mansur Purba).
Maka, berakhirlah kisah mobil keliling berpelantang suara yang di dalamnya seseorang selalu mengulang-ulang kalimat yang merupakan iklan murni, “….Jangan lewatkan! Hadirilah beramai-ramai…Malam ini di Balerong pukul tujuh tigapuluh, Sembilan tigapuluh.”
Sebelumnya, opera Batak (Serindo atau Serada) sudah tak menggelar pertunjukan lagi di kota kecil ini. Jika datang, bisa sebulan penuh rombongan trobadur (terus berpindah kota) ini menghibur. Saban malam mentas, lakonnya aneka ragam. Sungguh suguhan yang sangat istimewa di masa itu, terutama bagi kalangan muda-mudi setempat yang belum tentu setiap 4 tahun sanggup menggelar perhelatan akbar bersebutan gondang naposo.
Sebagai parpestaan yang merupakan favorit warga kitaran Tigaraja—Siburakburak—Pante, Balerong akhirnya kehilangan pamor. Sebab? Tempat yang lebih layak sudah tersedia sejak beberapa tahun belakangan. Sopo Godang HKBP dan Conference Hall, antara lain. Warga Parapat Kota termasuk yang memanfaatkan ruangan besar yang sudah berkursi-bermeja ini. Adapun penduduk Ajibata, mereka bisa memakai Sopo Pagarbatu atau atau Sopo Panangian.
Kalau di Balerong, hadirin umumnya duduk melantai di tikar yang digelar di atas lantai semen berflur. Padahal acara bisa dari siang hingga menjelang malam. Jangan tanya betapa menderitanya kaum perempuan yang sebagian besar bersasak dan bersongket. Pun, kaum lelaki yang terpaksa menahan pipis karena toilet tak tersedia. Lama-lama bisa dibayangi prostat, mereka.
Bangunan yang sekadar ada (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Kemajuan zaman telah mengubah pesta adat Batak kekinian, di mana pun. Dimanjakan oleh ketersediaan pelbagai jasa layanan dan piranti berteknologi modern, si empunya hajat dan tetamunya pun menginginkan hal yang serba asyik dan praktis. Mereka ogah capek. Begitulah: ruang berpendingin, katering, dan organ tunggal akhirnya menjadi kebutuhan mendesak. Jangankan kursi lipat yang sekian lama tak tersedia di Balerong, Tigaraja.
MANGKRAK
Jika Ajibata telah mendapatkan perhatian pemerintah sejak penghujung 1973, Tigaraja lain cerita. Pembiaran masih terus berlanjut di sana. Keadaan berubah baru menjelang akhir 2015.
Pada Oktober 2015 Pokkan Tigaraja mendadak beroleh perhatian dari Pemkab Simalungun yang dipimpin Bupati JR Saragih. Proyek peremajaan pasar dengan biaya Rp 5,3 milyar lantas dimulai. Kios di kiri-kanan Balerong diratakan dengan tanah. Sebagai gantinya, dihadirkan los pasar beton yang di bagian depannya bertingkat.
Agar tetap bisa berkegiatan, para pedagang dipindahkan dari balerong dan kedua sisinya. Fasilitas penampungan dibangun di bekas deretan kios yang dulu ditempati Amani Bentin-Nai Bentin dan yang lain.
Konstruksi yang atapnya berbentuk kubah bergelombang itu bagian depannya terlalu dekat dengan jalan raya. Akibatnya, setiap Sabtu siang tiba jalanan pasti macet hingga ke Segitiga. Efek leher botol (bottle-neck effect) tak diperhitungkan perancang proyek. Aneh, tentu saja. Begitupun, warga setempat banyak yang mengira bahwa itu wadah sementara saja.
Tatkala bangunan mulai berwujud, kritik kontan bermunculan. Pasalnya? Kiosnya mungil-mungil seperti si Unyil. Selain kurang memerhatikan kesimetrisan, ada juga bilik itu yang doyong. Bahannya terkesan ala kadarnya. Tiangnya yang dicor serba kecil. Lantas, disainnya juga jelek. Bergaya arsitektur ruma Batak, tapi estetikanya sangat kurang diperhatikan. Alhasil, menjadi seperti produk kodian. Seperti bumi dan langit jika disandingkan dengan bangunan Onan Balige: sebuah produk lama yang sesudah dipermak pun tak kunjung kehilangan keeksotikannya.
Wajah Pelabuhan Tigaraja saat ini (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Ya, disain dan bahannya serba buruk. Pengerjaannya juga serampangan sehingga setiap saat bisa membahayakan orang yang sedang berada di dekatnya.
Masih ada masalah tambahan. Sangat meleset dari rencana yang dimaktubkan dalam bestek, perampungannya bukan 95 hari. Proyek ini malah mangkrak sampai beberapa tahun. Pemborongnya, PT Cendana Indah Karya Persada (konsultan supervisinya, CV Perca Bangun Persada), malah raib, menurut laporan media massa.
Di saat proyek mangkrak, Balerong menjadi sangat merana. Di lantainya yang masih saja berupa semen flur, beronggokan kotoran manusia. Kedua sisinya dipenuhi sampah.
Tatkala ketelantarannya sedang berpuncak, diriku pernah melintas di sana. Tepatnya, ketika menapak dari Ajibata ke Segitiga dan Pante. Saat menjepreti beberapa titik, hati ini merintih pedih. Segala kebesarannya sebagai jantung pasar, ajang pesta adat, dan arena bioskop keliling sirna laksana tak berbekas. Sebagai orang yang memilik ikatan kesejarahan dan batin, diriku sampai sesak dan kehilangan kata-kata.
Sewaktu sibuk momotreti tempat yang lengang ini, siang itu di dekat tangga Balerong mendadak aku bersua dengan seorang kenalan lama. Seusai bertukar kata dengan kawan sebaya yang tetap setia menjadi penghuni Tigaraja, kutanya mengapa tempat yang dulu sangat berwibawa dan ada kalanya dilongok Raja si Singamangaraja dan para penguasa Tano Batak lainnya sampai bernasib setragis itu.
Jawaban dia memang seperti tebakanku. Perencanaan proyeknya asal-asalan; pun eksekusinya. Juga, otoritas tidak berurun rembug dengan masyarakat setempat. Top-down saja pendekatannya. Sebuah langgam khas Orde Baru yang masih diteruskan di zaman pasca reformasi. Ironis, tentunya.
Kesemarakan 'Onan' Tigaraja di masa jayanya (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita,com)
Belakangan, setelah acap disorot pers, renovasi pasar Tigaraja akhirnya rampung. Hasilnya? Jauh dari mengagumkan. Disain dan bahannya tidak prima. Ya, bagaimana hasilnya akan istimewa? Bukan hal yang mengherankan jika mereka yang dulu berlapak di sana ada yang tak tertarik menempatinya. Terlalu sempit, itu terutama alasan mereka.
Los pasar yang di depan Balerong ternyata bukan penampungan sementara. Ia sepermanen yang di depannya. Padahal letaknya yang terlalu mepet ke jalan raya telah menyesakkan segala dan sangat memacetkan, setiap Sabtu tiba.
Renovasi pasar Tigaraja yang berbiaya Rp 5,3 milyar ini, menurutku, salah perencanaan sehingga agak mubazir. Sebab itu disainnya perlu ditinjau ulang dengan memerhatikan dua hal sekaligus yakni fungsi dan bentuk.
Terlalu sayang jika sejarah gemilang Onan Tigaraja dikerdilkan. Kedudukannya sebagai ikon kota mesti dipulihkan lagi. Hal ini selaras tentu dengan rencana Presiden Joko Widodo menjadikan Kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata super prioritas (DWSP). Mesti diingat bahwa Tigaraja, bersama induknya: Parapat, sampai tahun 1980-an masih merupakan 1 dari 3 bintang turisme Indonesia. Yang 2 lagi adalah Bali dan Yogyakarta.
Jika Pokkan Tigaraja akan dibangun ulang suatu waktu kelak, arsitektur Onan Balige bisa dijadikan rujukan. Di sana, keadiluhungan dan keklasikan kriya Batak mengemuka betul. Memang demikianlah seharusnya tempat yang menjadi ajang pertemuan para raja. (Bersambung)