Tulisan-3
PARAPAT, Kalderakita.com: Memulai sesuatu itu sulit [every beginning is difficult]. Tapi, begitu fase awal ini lampau terusannya akan lebih mudah. Ucapan bijak ini kuamini tatkala datang lagi tawaran untuk mengajar di kitaran Danau Toba. Kalau untuk tampil untuk kali pertama diriku perlu menanti sampai berbelas tahun, yang kedua ini hanya sekitar 8 bulan saja.
Kelas perdanaku di Parapat pada 4-8 Agustus 2009 yakni di Sopo KSPPM. Pada 7-10 April 2010 diriku sudah mengajar lagi di tepi Danau Toba yaitu di Hotel Sopo Toba, Ambarita. Materinya serupa yakni Teknik Reportase dan Kiat Menulis. Pesertanya para pendeta dan pegiat gereja yang datang dari berbagai kota. Salah satunya adalah Pendeta Adolf Bastian Marpaung yang kelak menjadi ephorus Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) periode 2011-2016. Setelah menjadi orang nomor satu, ia juga menanggapku di Padang Sidimpuan. Di kantor pusat mereka aku melatih para pendeta mereka meliput dan menulis.
Para pendeta GKPS serius menyimak (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Perhelatan di Sopo Toba merupakan buah kerjasama Sekolah Tinggi Teologia (STT) HKBP, Pematang Siantar, dengan Yakoma PGI. Ketua STT HKBP, Pendeta Darwin Lumban Tobing hadir di sana kala itu dan ikut terjun ke lapangan saat peserta meliput di Simanindo (lihat foto).
Sama seperti di Parapat, mengajar di Ambarita sangat kunikmati. Salah satu sebabnya adalah sejak kecil diriku mengagumi betul Pulau Samosir. Karena alamnya yang sangat eksotik dan diriku semasih bocah pun telah berikatan erat dengan para pelanggan minyak kami yang berasal dari negeri—yang seperti kata komponis agung Nahum Situmorang—penghasil kacang, bawang, dan ternak? Betul. Begitupun, masih ada alasan lain yang juga sangat pribadi.
Hini Gultom, ibunda dari ayahku: Maruhum Sirait, berasal dari Silimalombu, negeri yang tak jauh dari Tomok dan Ambarita. Ayahku yang sudah yatim saat masih bayi serta abangnya, Justin Sirait (ayahanda Rajamin dan Raja Sirait), beroleh banyak bantuan dan kasih sayang dari kakek-nenek [ompung] dan paman-tantenya, Gultom asal Silimalombu. Ikatan emosional ini lebih menguat lagi karena saat liburan panjang di masa SD kami pun acap menghabiskan hari-hari di kediaman Ompung di Sitiotio yang bersebelahan dengan Silimalombu.
Pendeta Darwin Lumban Tobing dan rombongan di kapal (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Di Ambarita kelas kami; bukan di Silimalombu. Begitupun, kedekatan emosional dengan trah Gultom tetap kurasakan saat itu. Soalnya, pemilik Hotel Sopo Toba adalah pasangan Nan Rulita (PR boru Gultom)—Aman Rulita (WP Simarmata). Nan Rulita (Ompu Basaria Boru)—kakak dari Ratnauli Gultom (bersama suaminya, Thomas Heinle, ia mengoperasikan Ecovillage Silimalombu)—tiada lain dari pariban [anak paman] kandung ayahku. Sebuah kebetulan yang tak biasa, bukan?
Kesempatan mengajar di Pematang Siantar juga tiba akhirnya. Tempatnya di kantor pusat GKPS, di Jl. Pendeta J. Wismar Saragih, pada 25-28 Oktober 2016. Diikuti para pendeta, perhelatan ini buah kemitraan Yakoma PGI dengan gereja Simalungun yang saat itu dipimpin Pendeta Rumanja Purba. Sekum PGI, Pendeta Gomar Gultom (ia kini Ketua Umum PGI) yang jauh sebelumnya sudah kukenal ikut memberi sambutan di acara pembukaan.
Workshop di Sopo Toba, Ambarita (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Kegembiraanku berpuncak karena setelah penutupan diriku berkesempatan berbincang sekitar 3 jam dengan Asisten Wedana-Camat Parapat yang legendaris, Jomen Purba. Tokoh Partuha Maujana itu sudi datang ke kantor GKPS tatkala kami undang. Saat masih memimpin kota kecil kami, ia rajin betul, kreatif, dan tanpa tedeng aling-aling. Serupa Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ia, di mataku.
Semesta memang mendukung. Rupanya diriku juga berpeluang mengajar lebih dekat lagi dengan rumah tempatku dibesarkan di Siburakburak. Pada 6-8 Maret 2018, GKPS dan Yakoma PGI kembali mengadakan workshop menulis untuk pendeta. Tempatnya di Hotel Horas, Parapat. Kini menjadi bagian dari Hotel Tamaro, penginapan ini sekitar 200 meter saja dari Segitiga yang di sebelah Hotel Parapat (sekarang bernama KHAS Parapat Hotel; bukan Inna Hotel lagi).
Meliput di Simanindo (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Bisa Anda bayangkan betapa senangnya hati ini kala itu. Apalagi sempat pula bercengkrama dengan Sarido Ambarita (adik musisi Iran Ambarita) dan kawan-kawan lama lainnya di kedai kopi di sebelah Restoran Islam Murni-nya Mak Rudi, sepulang mengajar.
Seperti 2 minggu lalu, beberapa kali akhirnya mudik sembari berninas. Sedap betul, rasanya. (Tamat)