BAKTIRAJA, Kalderakita.com: Boru Pasaribu beranjak dari kediamannya di Bakkara menuju Bakti Raja. Di hutan keramat Tombak Sulusulu dia bersemedi di sebuah gua batu bercelah sempit tapi rongganya cukup untuk menampung 2 orang dewasa yang berjongkok. Saat martonggo [berdoa] ia bermohon kepada Mulajadi Nabolon [Sang Khalik] agar diberi keturunan.
Istri Raja Bonanionan Sinambela itu memang sungguh mendambakan anak. Tanpa keturunan entah bagaimana nasibnya nanti. Dimadu, sudahlah tentu. Kalaupun punya anak tetapi bukan lelaki, besar kemungkinan kepermasuriaan dirinya tidak akan paripurna sebab tak melahirkan pewaris takhta.
“Mulajadi Nabolon ternyata memenuhi permintaannya. Tak lama setelah meninggalkan tempat ini dia kemudian mengandung dan melahirkan. Anaknya itu kelak bersebutan Si Singamangaraja pertama,” Ronald Lumbanbatu menjelaskan. Ia merupakan kuncen (penjaga-pemandu) di situs budaya yang sangat bersejarah ini.
Sebelum ditabalkan menjadi Raja Si Singamangaraja I, putra mahkota penguasa dari Bakkara ini bernama Raja Manghuntal. Menurut kepercayaan lama orang Batak, proses kelahirannya sungguh tidak biasa. Ia bukanlah buah hubungan intim pasangan manusia. Boru Pasaribu hamil semata berkat kuasa dan anugrah Mulajadi Nabolon. Jadi, ia bukan anak biologis Raja Bonanionan.
Seperti dikisahkan penulis kawakan Batara Sangti (Ompu Buntilan Simanjuntak) di kitab Sejarah Batak (terbit tahun 1977), di dalam rahim ibunya ia sampai 20 bulan. Begitu lahir, giginya telah komplit. Dentum guntur dan glegar gledek bersahut-sahutan seharian meramaikan kehadirannya di bumi.
Saat masih berumur 5 tahun Raja Manghuntal mendatangi hutan kramat Bakkara (Sombaon Sulusulu) pada suatu ketika. Ia memanjati pohon di sana.
Esok paginya warga Bakkara terperangah dan ketakutan. Soalnya, semua tanaman padi di negeri itu serba terbalik: akarnya ke atas dan daunnya ke bawah. Kaum dukun dan para raja lantas melontarkan usul: Raja Manghuntal mesti digondangi [ritus gendang dipersembahkan khusus kepada dia] agar keadaan kembali normal.
Usul diterima dan dilaksanakan. Saat itulah ia resmi bersebutan Tuan Singa Mangaraja. Memang benar, tanaman padi di seluruh Bakkara kembali lagi tumbuh normal seperti sediakala. Sejak kejadian itu, bila Tuan Singa Mangaraja hendak menari, untuknya akan disiapkan tikar baru (sama sekali belum pernah dipakai) 7 lapis. Di atasnyalah ia melantai.
Dinasti 12 Turunan
Raja Manghuntal Sinambela merupakan pemula dari dinasti Si Singamangaraja. Putranya, dari istri boru Situmorang, Ompu Raja Tinaruan, menjadi Si Singamangaraja II.
Putra pewaris takhta menjadi Si Singamangaraja berikutnya. Begitu seterusnya. Mereka semua keturunan Raja Manghuntal. Kecuali yang ke-11 Ompu Sohahuaon, Si Singamangaraja dari yang ke-1 hingga ke-12 beribukan boru Situmorang. Adapun Raja Ompu Sohahuaon, ia putra dari boru Nainggolan (Augustin Sibarani,1979).
Di antara semua Raja Si Singamangaraja, yang paling tersohor tentu saja adalah yang ke-12: Raja Ompu Pulo Batu Patuan Bosar Sinambela. Tak kurang dari 30 tahun ia gigih memerangi Belanda, yakni sejak 1877. Pahlawan nasional yang dinyatakan tewas di tangan pasukan khusus Belanda, Korps Marsose,di Sionom Hudon (Dairi) pada 17 Juni 1907 memiliki 5 istri. Satu dari mereka, yang ke-2, boru Situmorang.
Ada unsur kesamaan dari Si Singamangaraja. Salah satunya, seperti dicatat Batara Sangti, mereka suka bersemadi. Ritus ini dilakukan terutama di saat masalah berat sedang mengganduli pikiran. Dalam konteks inilah tempat keramat seperti Tombak Sulusulu menjadi sangat penting.
Ritus yang Berlanjut
Dengan macis (geretan) ia menyalakan sepotong lilin yang tinggal sedikit saja tersisa. Letak suluh itu di dekat jambangan yang bunganya telah menghitam akibat kerontang. Rongga berdinding batu yang celahnya hanya muat untuk seorang dewasa seketika berubah dari gulita menjadi remang-remang.
Anggir [jeruk purut], telur, dan daun sirih tampak tergeletak di kitaran kaki lelaki ber-T-shirt oranye, Ronald Lumbanbatu. Sedangkan di belakangdia terlihat 3 batang sigaret, beberapa helai daun sirih, serta cawan yang berisi cairan. Air jeruk purut yang merendam sehelai daun sirih kemungkinan besar larutan tersebut.
“Apa tujuan kedatangan Anda ke sini?” ucap kuncen sambil meremas anggir dalam cawan. Prosesi dijalaninya dengan khusuk sehingga pandangannya tetap tertuju pada apa yang sedang ia pegang.
Ucapan “Hanya mau melihat-lihat dan memotret” dari tamu yang datang sendirian, bercelana pendek, berkaos oblong, dan menyelempangkan kamera DSLR besar membuat ia terlihat agak terperangah.
“Bukan untuk meminta sesuatu atau mau didoakan?” katanya sambil memandangi wajah si pengunjung untuk kali pertama.
Jawaban “nggak” membuat ia tampak penasaran. Ia lantas bercerita. Intinya, sebagian besar pelongok datang dengan menjalankan misi khusus; jarang yang hanya sekadar melihat-lihat. Lazimnya mereka meminta sesuatu. Diberi anak, misalnya. Atau jodoh. Kalau tidak, ya dimudahkan rezeki.
Ada juga yang datang untuk ngelmu. Memang bukan sembarang tempat Tomba Sulusulu. Di jagat habatahon [ke-Batak-an], sepeti dikisahkan di atas, kedudukannya maha penting.
Magis-mistis
Tombak Sulusulu saat ini menjadi bagian Kecamatan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Dari jalan raya yang memotong dinding bukit letaknya dekat saja. Dengan menapaki tangga semen berteralis, tak sampai 5 menit pengunjung sudah tiba di pelataran yang di sebelahnya ada bangunan sederhana bergaya rumah adat Batak. Dua papan petunjuk yang menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris terpampang di sana.
Gua terletak di bawah, di balik bukit berbatu gamping yang diteduhi pepohonan dan semak. Alas kaki harus ditanggalkan jika seseorang akan ke sana. Padahal permukaan bebatuan bergerigi tajam. Menapak di permukaan atau di celah batu dengan serba hati-hati agar keseimbangan senantiasa terjaga, itulah yang harus dilakukan. Untung saja lintasan tak panjang.
Ronald Lumbanbatu masih asyik mengisahkan keistimewaan Tombak Sulusulu tatkala sayup-sayup terdengar suara orang yang bercakap sembari menapak.Tampaknya sebuah keluarga: mereka pasangan yang mulai sepuh bersama 2 remaja perempuan.
Pelancong berkamera DSLR merasa sudah cukup mendapatkan bahan cerita sehingga berpamitan begitu melihat rombongan kecil di mulut gua. Kuncen memersilakan ibu yang menjulurkan kepala masuk.
“Saya tidak membawa napuran [sirih],” jawab perempuan berbaju hangat merah.
“Napuran sudah ada di sini. Masuklah….”
Tamu itu tetap menampik. Alasannya pakaiannya tidak pantas. Begitupun, dia tetap selangkah dari mulut gua.
Kuncen keluar dari liang berongga dan menapak ke arah pelataran.
Serta-merta perempuan berbaju hangat merah merapat ke mulut gua sedangkan rombongannya beringsut untuk menjauh. Seakan sedang bermuka-muka dengan seseorang di dalam gua, ia berkata-kata dengan agak keras. Bahasa tubuh ia mainkan sehingga penampakannya begitu ekspresif. Inti ujarannya, ia meminta maaf karena datang dengan persiapan yang kurang. Napuran tak ia bawa serta. Pakaiannya pun kurang pas. Begitupun, ia tetap menjambangi karena ada keperluan yang mendesak.
Setelah berada di dalam gua pun perempuan itu tetap berkata-kata laksana sedang bercakap dengan seseorang.
“Ibu itu berilmu tinggi. Orang seperti dia tak memerlukan pemandu seperti saya. Ia bisa langsung berkomunikasi dengan Ompung [nenek atau kakek] yang ada di sini,” Ronald Lumbanbatu menjelaskan kepada pelancong berkamera DSLR yang tampak kebingungan melihat adegan barusan.
“Seperti yang saya katakan tadi, orang-orang yang datang ke sini umumnya memiliki tujuan khusus. Jarang yang seperti Anda yang cuma ingin melihat-lihat,” lanjutnya dengan tersenyum.
Hutan keramat Tombak Sulusulu memang tempat yang tak biasa. Sebab itu kealamiahannya mesti terus dijaga.