Tulisan-3
JAKARTA, Kalderakita.com: Kerusuhan mendera sejumlah kota di negeri kita pada Mei 1998. Medan-lah sasaran pertama pengacau, bukan Jakarta. Dari Medan (4-8 Mei) prahara kemudian, berturut-turut, meluas ke Jakarta (13-15 Mei), Palembang (13-15Mei), Solo (14 Mei), dan Surabaya (14-15 Mei). Tentu kerusakan yang terparah dan jumlah korban terbesar ada di ibukota negara.
Perusuh sebenarnya mulai beraksi di Medan pada 2 Mei 1998. Dengan mendompleng mahasiswa Universitas HKBP Nommensen (UNH) yang berunjuk rasa di kampusnya, sekelompok masa menyerbu ruang pamer mobil Timor (pabrik kendaraan ini dimiliki putra Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy). Di samping Hotel Elbruba dan di depan kampus UNH sasaran itu terletak.
Kerusuhan besar baru terjadi sejak 4 Mei. Awalnya, massa liar memanfaatkan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa IKIP di depan kampusnya di Jl. Willem Iskandar. Kekerasan lekas merebak. Pembakaran dan perusakan terjadi di sejumlah tiitik. Sasarannya terutama toko dan kendaraan milik Tionghoa.
Ternyata prahara berlanjut hingga 8 Mei dengan skala yang kian meninggi. Begitupun, seperti yang terjadi di Jakarta beberapa hari kemudian, aparat keamanan nyata tak berbuat banyak. Akibatnya, pengungsi Tionghoa pun mengalir. Bandara Polonia (Kuala Namu baru resmiberoperasi pada 25 Juli 2013) dipenuhi oleh mereka yang hendak menyelamatkan diri terutama ke Singapura.
Sesungguhnya tak hanya Medan yang dikacaukan kaum yang mengganas itu tapi juga kawasan di sekitarnya yakni Deli Serdang (5-6 Mei), Tebing Tinggi (6-7 Mei), Pematang Siantar (7 Mei), dan Tanjung Balai (27 Mei).
Pola kerusuhan di Sumut ini, menurut hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipublikasikan pada Oktober 1998, hampir sama dengan yang di provinsi lain. Ada kekuatan besar yang bekerja secara sistematis. Provokator yang merupakan bagian dari mereka giat memperkeruh suasana. Masa provokator, kata TGPF, “rata-rata memakai kaos, bercelana anak-anak SMU [Sekolah Menengah Umum], berambut cepak, berbadan kekar dan sepertinya sudah dilatih.”
Foto P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com
Anggota Angkatan Darat, lanjut TGPF, terlibat dalam aksi penjarahan seperti yang tampak di Simalungun. Saat aksi perusakan dan penjarahan, polisi menangkap seorang anggota Kopassus yang berpakaian preman tapi di rangselnya terdapat senjata panjang M-1 dan senjata genggam FN-45 di sana. Dia “diduga diperintahkan dari Jakarta untuk mengejar GPK (Gerombolan Pengacau Keamanan) dan perdagangan senjata gelap.”
Bambang Sudjiartono (Bambang Soed) melaporkan kisah prahara beberapa hari di awal Mei 1998 ini. Tulisannya muncul di majalah D&R, edisi 16 Mei 1998, panjang-lebar (lihat foto). Sampai 8 halaman, sebuah rekor di media kami pada masa itu untuk reportase tunggal (dihasilkan sendirian saja) oleh seorang koresponden. Lazimnya, karya sepanjang ini dikerjakan beramai-ramai dengan melibatkan para wartawan yang di Jakarta dan pelbagai kota. Perancang liputan tentu saja redaktur yang menjadi pimpinan proyek.
Dari foto-foto yang ia kirim (lihat di atas) tampak massa yang mengganas menghadang kendaraan yang melintas di jalan-jalan utama. Selain dibalikkan, ada juga angkutan itu yang dihanguskan. Mereka juga menjarah dan membakar toko yang pemiliknya tak hanya Tionghoa tapi ‘pribumi’.Sebuah mal, yakni Buana Plaza yang di Jl. Muhammad Yamin, ikut dijarah dan dirusak.
Kemampuan Bambang Soed sebagai wartawan memang di atas rata-rata. Jejaringnya luas di Sumut. Dengan para mahasiswa demostran ia dekat. Pun dengan tokoh-tokoh NGO. Ke massa rakyat ia bisa melebur. Tak heran kalau liputan khususnya ini rinci dan bermutu tinggi.
Dengan kualifikasi seperti itu wajarlah bila sebelum dan sesudah rusuh di Sumut pada Mei 1998 liputannya kerap tidak dikompilasi redaktur melainkan diturunkan seutuhnya. Apalagi jika topiknya seksi. Selain mafia judi, laporannya antara lain tentang bocah yang menjadi buruh di jermal, penjarahan kekayaan laut dengan menggunakan pukat harimau (trawl), ninja sawit (kawanan pencuri biji kelapa sawit), peta preman di Sumatra Utara (bagian dari sajian investigasi tim kami di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan beberapa kota utama lain), serta kejahatan terhadap lingkungan yang dilakukan perusahaan bubur kertas dan rayon milik taipan asal Belawan (kota pelabuhan dekat Medan), Soekanto Tanoto (Tan Kang Hoo): PT Inti Indorayon Utama (kini bernama PT Topa Pulp Lestari).
Sebagai redakturnya tentu saja diriku senang bekerja sama dengan Bambang Soed. Apalagi, ia lebih suka liputan yang menantang; yang bisa-biasa ia kurang bernafsu.Jadi, wajarlah kalau diriku berharap akan bisa bermitra lagi dengannya setelah ia mengakhiri masa pelarian berbulan-bulan. Sejak diteror dan dicari-cari mafia judi ia tak pernah lagi membuat reportase untuk D&R. Ternyata sepulang ke Medan pun demikian.
“Lae, aku mau pamit sekaligus minta doa restu,” ucapnya suatu waktu. Saat itu, kalau tak salah masih di awal 1999. Baru kali itu ia mengontak kembali diriku.
“Memang Mas mau ke mana? Mau umroh atau naik haji?” ucapku dengan bercanda.
“Aku mau pindah ke Tempo. Sudah diterima mereka sebagai koresponden Sumatra Utara.”
Foto P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com
Seketika lidahku kelu. Jelas, aku kaget.
“Edrin dan Anto sudah bisa menggantikan. Kerja mereka bagus. Lagi pula awak akan mem-back-up mereka kalau diperlukan,” lanjutnya. Edrin Ardiansyah dan J. Anto, maksudnya. Bermukim di Medan, keduanya koresponden kami.
Kendati merasa berat, diriku akhirnya bisa mafhum. Rasa bersalah dan berdosa karena tak bisa berbuat banyak untuk membantu saat dia sporing [pelarian] masih menyergap diri ini. Kukira, ia memang butuh atmosfir baru. Lagi pula, di majalah Tempo kesempatannya untuk berkembang lebih besar.
Kebersamaan kami sesama kru D&R akhirnya berujung diawal 1999 itu. Begitupun, perkawanan kami terus berlanjut.
SANG PELINDUNG
Di suatu waktu, masih di bulan-bulan awal 1999, aku ke Medan. Urusannya training. Begitu mengetahui diriku ada di kotanya dia langsung menelepon untuk bertemu.
“Lae, habis acara di sini nginap di rumah kami, ya…Biar cerita-cerita dulu, kita. Orang rumah sudah kukasih tahu,” katanya saat kami bercakap di lobi hotel tempat pelatihan.
Dari hotel aku berpaling ke rumahnya. Ia yang menjemput dengan mobil tuanya yang setia. Selama 2 malam di sana aku banyak menyimak dan bertanya. Istrinya serta anak-anaknya yang masih bocah membiarkan kami mengobrol tak berkesudahan hanya bertemankan kopi dan cemilan (untuk dia tentu tersedia rokok kretek). Salah satu yang ingin kudengar pastilah kisah pengembarandia dan kiat yang digunakannya kemudian sehingga bisa kembali berkegiatan di Medan dengan aman.
Selama sporing dia rupanya tetap menjaga jejaring. Sembari terus menggonta-ganti nomor handphone, dia bertukar pikiran dengan kawan-kawan terpercaya. Saran dari mereka yang kemudian dijalankannya. Dari tempat pelarian ia akhirnya mengontak kalangan yang dianggapnya bisa melindungi dirinya. Yang paling dikhawatirkannya tentu saja mafia judi yang telah kami beritakan, A Siang. Adapun dr. Benny Hermanto MBA, lulusan Amerika yang merupakan operator sang capo de capi[bahasa Italia yang berarti bos dari semua bos] judi Medan tersebut dianggapnya tak terlalu membahayakan.
Di rumahnya yang bersahaja tapi penuh kehangatan, pada malam ke-2 lelaki Jawa yang gaya bicaranya khas langgam anak Medan berkisah ke aku ihwal A Siang. Juragan judi yang berpengaruh luas dan seakan untouchabletersebut, menurut dia, sebenarnya menjadi besar berkat Olo Panggabean. Awalnya, pendiri dan pimpinan Ikatan Pemuda Karya (IPK) yang nama lengkapnya Sahara Oloan Panggabean memberi dia kesempatan untuk mengelola sebuah tempat judi miliknya.
Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com
A Siang yang berasal dari keluarga biasa-biasa ternyata sangat bisa diandalkan. Senang, Olo kemudian memberi dia kewenangan yang jauh lebih besar berikut perlindungan istimewa. Seorang pentolan IPK ditugasi menjadi semacam body guard dia. Maka, begitu bermasalah dengan A Siang akibat berita ihwal mafia judi, dengan sendirinya Bambang Soed berurusan juga dengan IPK.
Untunglah jaminan bahwa ia tak akan ‘diapa-apakan’ mafia judi Medan akhirnya didapat Bambang Soed dari kalangan tertentu yang berpengaruh besar. Identitas orang itu tetap ia rahasiakan ke aku. Garansi datang menjelang persuaan kami yang mendadak di Aldiron Plaza, Blok M, pada penghujung 1998.
Yang diungkapkan kawan-sejawat lamaku itu hanya cara dia kemudian menghadapi orang-orang IPK.
“Awak akhirnya minta perlindungan ke bos-bos Pemuda Pancasila, saingan mereka,” ungkap dia sembari tersenyum. “Jadi, setiap awakdiganggu mereka pun turun.”
Meski merupakan musuh bebuyutan, di antara petinggi IPK dan PP rupanya ada juga kesepakatan tak tertulis dalam hal tertentu. Tak hanya soal batas teritori [baca: daerah kekuasaan] tapi juga ihwal tidak mengganggu orang tertentu. Yang terakhir inilah yang ia manfaatkan untuk seterusnya.
“Kalau sedang bermasalah dengan orang PP karena pemberitaan, awakjuga akan minta perlindungan ke petinggi-petinggi IPK. Begitu seterusnya,” lanjut dia sambil mengisap asap rokok. “Di Medan ini memang kita harus ligat putar otak. Kalau nggak, bisa mati.”
Saat menuliskan bagian ini seketika diriku teringat pada penembakan mati seorang awak redaksi media online di Pematang Siantar belum lama ini [tentang kasus ini lihatlah catatan di bawah].
Seribu kawan kurang. Satu musuh cukup. Begitu sebenarnya prinsip lelaki bertampang sangar yang pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Tapi, karena tanpa tedeng aling-aling saat memberitakan peristiwa atau fenomena ada saja yang memusuhinya. Memang demikian risiko yang senantiasa membayangi wartawan yang selalu mengedepankan fakta.
Belakangan hari kudengar juga cerita dari dia bahwa A Siang dan Olo Panggabean akhirnya pecah kongsi. Masalahnya? A Siang yang telah mengembangkan bisnis judi sendiri sehingga dirinya pun menjadi semacam capo de capidianggap sudah tidak loyal oleh sang patron yang telah membesarkannya. Entah apa sebabnya, ia kemudian menyingkir ke Singapura. Setelah beberapa lama berselang barulah ia pulang. Masih hidup, ia kini lebih dikenal sebagai pengusaha properti Sumatra Utara.
Adapun Olo Panggabean, bisnisnya porak-poranda setelah Jenderal Sutanto menjadi Kapolri (sejak 8 Juli 2005 hingga 30 September 2024). Saat menjadi Kapolda Sumut, Irjen Polisi Sutanto yang pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto (1995-1998) langsung memerangi judi. Ia ternyata mendapat perlawanan keras dari Olo. Baru 7 bulan berdinas (Maret-Oktober 2000), mendadak lulusan Akabri 1973 itu dipindahkan dari Medan untuk menjadi Kapolda Jawa Timur (masa dinasnya 17 Oktober 2000—Oktober 2002). Ada yang menafsirkan kepindahan ini sebagai promosi. Tapi sebagaian besar warga Sumut kala itu memaknainya sebagai ekses dari kelancangan mengusik godfather Medan yang sesungguhnya: Olo Panggabean.
Foto P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com
Begitu menjadi orang nomor satu di kepolisian, Jenderal Sutanto segera menabuh genderang untuk memerangi judi di seluruh Indonesia. Bisnis utama Olo Panggabean pun diobok-obok polisi di masa kepresidenan Soesilo Bambang Yudhoyono tersebut. IPK akhirnya sangat tersudut. Di saat mereka surut, balik PP yang berkibar.
Sempat dirawat di Singapura akibat penyakit gula, Olo yang sudah berkurang jauh pamornya berpulang di Medan pada 30 April 2009. Sosok legendaris kelahiran Tarutung saat itu masih 67 tahun. Banyak orang yang merasa sangat kehilangan. Bambang Soedjiartono termasuk. Dia ternyata pengagum beratnya kendati pernah diintimidasi, diteror, dan diburu oleh orang-orang IPK.
“Belum lengkap karirku sebagai wartawan kalau belum bisa mewawancarai secara eksklusif Olo Panggabean,” kata dia ke aku di satu kesempatan. Kala itu sang Katua [Ketua] masih segar-bugar dan berjaya betul. Akankah impiannya mewujud? (Bersambung)
*Catatan:
(1) Pemimpin Redaksi LasserNewsToday, Mara Salem Harahap (Marsal), ditembak orang tak dikenal di dekat kediamannya di Nagori Karang Sari, Kecamatan Gunung Maligas, pada Jumat 18 Juni 2021. Malam itu ia baru pulang dari kedai tuak dengan menyetir mobil sendirian. Saat mendekati rumah ia ternyata dipepet. Seorang yang dibonceng pengendara motor ternyata melepaskan tembakan.
Paha Marsal ditembus peluru. Orang datang menolong dan membawanya ke rumah sakit. Rupanya di perjalanan ia kehilangan nyawa akibat pendarahan hebat. Adapun pelaku, mereka hilang ditelan malam.
Liston Damanik (Ketua AJI Medan) dan kawan-kawan wartawan Sumut yang lain sempat giat menyoal pembunuhan ini. Tapi penjelasan yang menjungkirbalikkan anggapan kemudian datang dari otoritas.
Kapolda Sumut Irjen Pol Panca Putra Simanjuntak, didampingi Pangdam I/Bukit Barisan, Mayjen TNI Hasanuddin, memberi keterangan pers di Mapolres Siantar pada Kamis 24 Juni 2021. Aku menyimaknya lewat layar TV. Ia mengatakan S yang menyuruh YFP (Humas Ferari Bar n Resto) dan AS (tantara aktif, dari Angkatan Darat) yang menembak korban. Tujuannya sebenarnya hanya terapi kejut.
S, lanjut Kapolda, jengkel karena Marsal selalu memberitakan kemarakan peredaran narkoba di tempat hiburan malam miliknya, Ferari Bar n Resto yang terletak di Jl. Sisingamangaraja, Siantar. Selain itu sang wartawan juga meminta jatah bulanan Rp 12 juta per bulan dan jatah ekstasi 2 butir per hari.
S yang dimaksud Kapolda adalah Sujito. Pada 2015 pria berusia 57 tahun ini mencalonkan diri sebagai walikota Siantar dari jalur independen.
Kalau benar seperti yang dijelaskan Kapolda itu kelakuannya, beraeti jenis kewartawanan Marsal sangat lain dari Bambang Soed.
(2) Tulisan ini dimuat di Kalderakita.com.