Kebangkitan Ajibata yang Harus Dibayar Mahal oleh Tigaraja

Dermaga Tigaraja (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Dermaga Tigaraja (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Tulisan-3

JAKARTA, Kalderakita.com: Pada 1973,  Ajibata yang berbataskan Tigaraja mulai mendapatkan perhatian pemerintah untuk kali pertama. Infrastruktur akan dihadirkan. Jalan beraspal, pelabuhan, dan pasar wujudnya. Pemborong dari luar kota yang kemudian lebih dikenal warga dengan sebutan Si Garoga, pelaksananya.

Listrik dan air minum juga dialirkan.  Sehingga penduduk tak perlu lagi mengandalkan samporong  [baca: sapporong; lampu teplok] dan mangalap mual  [mengambil air] di bawah kerindangan pohoh raksasa bernama hariara.

Sebelumnya, lintasan dari persimpangan Sosor Mangadar (Tigaraja)  ke  Ajibata berupa jalan tanah berlebar sekitar 1,5 meter yang senantiasa becek selepas hujan. Menurun, kiri-kanannya dipenuhi tanaman perdu meninggi:  sanggar, tolong, dan paet-paet.  Sosor Pea yang di bawah dengan sendirinya terhalang olehnya dari tatapan mata pejalan. 

Begitu jalan menurun akan berakhir, pohon jambu dan pelbagai tanaman keras berderet di tebing melandai Haranggisgis. Angker tempat ini, menurut orang  Ajibata. Dinamai parbeguan [sarang hantu], lokasinya berada di bawah sederet rumah di kaki Gereja RK (Roma Katolik),  milik keluarga Berman Panggabean, Lindung Sigiro, dan Guru Sol Tambunan—Encik Situmorang. 

Setelah Haranggisgis lewat, barulah ada bangunan dan itu pun cuma satu. Sederhana, dari kayu bahannya. Rumah tinggal ini sekaligus lapo tuak. Pemiliknya bertubuh agak tinggi-atletis dan berkumis baplang. Gelar ‘Parang’ yang melekat pada diri lelaki yang nama sesungguhnya adalah Gideon Gurning tentu terkait dengan kebesaran nyali serta kegarangan dirinya saat masih belia. Kami ber-tulang ke dia. Bila malam mulai menjelang, para parmitu [peminum tuak] akan menjambanginya. Lampu gas (petromaks) menjadi penerang di sana.

Jalan bercabang di depan lapo. Yang kiri  menuju Pagarbatu—Sibatunanggar—Huta Bolon—Sijambur dan yang kanan mengarah ke Sosor Pasir—Motung—Jambu. Kedua lintasan ini jalan tikus dari tanah yang pasti becek saat atau seusai hujan. 

Membangun dari nol karena lokasi proyek sama sekali belum tersentuh oleh modernisasi. Itulah yang harus dilakukan CV Garoga. Agar alat-alat beratnya bisa masuk, yang pertama mesti mereka kerjakan tentu saja menghadirkan jalan raya sejak dari simpang dekat Sosor Mangadar. Setelah itu barulah mereklamasi peruntukan pelabuhan.  Tahapan lanjutannya adalah menghadirkan los pasar dan ruko-ruko yang mengelilinginya.

Lapak di pinggir jalan (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Awalnya, proyek ini lancar saja.  Tapi, entah mengapa kemudian mangkrak cukup lama. Bukan pembebasan lahan  kendalanya. Seperti halnya di sepanjang era Orde Baru,  waktu itu tanah rakyat Ajibata pun mudah saja diambil alih negara.

Otoritas mengatasnamakan pembangunan fasilitas pariwisata.  Maka, per meter persegi tanah itu cuma  mereka hargai Rp 500. Sebagai gambaran,  harga sekaleng beras saat warga diminta meneken surat persetujuan penyerahan hak tanah pada 20 Januari 1974 adalah Rp 2 ribu. Untuk transaksi selanjutnya, harga beras inilah yang dijadikan patokan.

Warga melepaskan lahannya di Sigilang, Juma Sihala, dan Juma Toba. Ketiganya  berada di sekitar titik yang kemudian lebih dikenal sebagai Mess Pemda. Pun, yang  di lokasi pelabuhan feri baru Ihan Batak sekarang. Tempat ini bersebelahan dengan Sosor Pea.

Sebenarnya banyak warga yang keberatan melepaskan tanahnya dengan imbalan semurah itu. Tapi mereka diiming-imingi. Dijanjikan, misalnya,  akan diprioritaskan menjadi penyewa kios nanti.

Mereka yang bersikeras menolak pasti diintimidasi. Seorang kepala sekolah yang sesungguhnya merupakan sosok yang sangat populer, umpamanya,  akhirnya menyerah karena diancam akan dipindahkan ke negeri yang waktu itu masih semacam antah-berantah bagi orang Ajibata-Parapat: Adiankoting. Kalau kita lihat di Google Maps, kawasan di Kabupaten Tapanuli Utara  ini  terletak di antara Siborongborong dan Sibolga.

Yang bertahan akhirnya segelintir saja. Aman Nurhaida  (Daulat Sirait; kini lebih dikenal sebagai Ompu Bona, pemilik Sopo Pagarbatu, Ajibata), Aman Darwin (Mangadar Sirait), dan Aman Ranto Sirait (Parkios Parduru), termasuk. Aman Nur sekeluarga kala itu sudah lama menjadi warga Bandung. Agar lahan yang diwarisinya aman, mantan gerilyawan ini mendatangi Kolonel Sinta Mardame Sinaga  di kantornya di Tarutung.  Ia berhasil meyakinkan Bupati Tapanuli Utara  (1968-1979) tersebut. Ia bilang dirinya siap mendirikan bangunan serupa dengan yang akan dimunculkan pemerintah di sekitar itu. 

Setelah klar pun  infrastruktur di Ajibata yang berupa pelabuhan dan los pasar yang dikelilingi ruko ternyata tak kunjung berfungsi hingga sekian tahun. Masalahnya? Perairan pelabuhan terlalu dangkal. Lantas, pelatarannya labil. Memang, paya-paya tadinya.

Aneka kebutuhan dapur tersedia (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Semak bersebutan arung-arung menyesaki tepi pantainya. Sebelumnya tempat ini menjadi habitat sigurguak [belibis] dan pebagai ular. Dolok Siponggung (tak jauh dari sana dan terletak di antara Sosor Pea dan pelabuhan Tigaraja) juga di masa itu  masih berular kendati telah dikembangkan pengusaha nasional TD Pardede menjadi penginapan. Keseraman tempat berperairan dalam ini bertambah lagi karena di dasar danau, tak jauh dari pantainya yang merupakan pengkolan, terdapat batu besar bersebutan batu lala.

Adapun bangunan serba beton di pusat pasar Ajibata, sebagian doyong sebelum dihuni. Tanah yang tak stabil, penyebabnya. Bermuka-muka dengan pelabuhan dan hanya dipisahkan jalan tanah setapak yang diperlebar dan diaspal, kawasan ini semula sawah. Di sana terdapat mata air: Mual ni boru Sirait.

Ironisnya, yang berfungsi kemudian sebagai kawasan pelabuhan justru persil yang dimiliki Tokke Pinggir (Aman Suminder alias Ompu Asi Doli Sirait). Letaknya bersebelahan dengan kios-kios dari kayu yang dihadirkan pemerintah di dermaga.

DATU TOKKE PINGGIR

Sekian lama Aman Suminder dikenal sebagai parasi [ahli pengobatan tradisional alias datu]. Ia memiliki rumah 2 sekaligus. Satu di Aektubu yang bersebelahan dengan Lumban Pokki. Satu lagi di dekat  Sosor Pea. Para pasien dan sisean [murid] biasanya mendatangi parhasapi [pemain kecapi] kawakan ini di Aektubu. Atmosfir di sana memang lebih bersahabat sebab berada di huta [kampung]; tetangga ada di sana-sini. 

Rumah kecilnya yang di dekat Haranggisgis dan Sosor Pea terbuat dari kayu. Letaknya di dekat bibir pantai berarung-arung yang merupakan sarang ular dan belibis. Sekelilingnya sawah.  Terpencil, sejak lama ia dan keluarganya betah saja di sana.  

Tak dinyana orang banyak, termasuk diriku yang merupakan keponakannya, ternyata lelaki yang pusukbuhiton [rambut panjangnya gimbal; sebagai parasi ia acap membebatnya dengan kain putih]  seorang yang visioner. Tak lama setelah pembangunan dimulai pemerintah, dia juga menguruk lahannya.

Setelah kapling itu menjadi rata dan keras,   ia mendirikan dua baris kios dari kayu di kiri-kanannya. Sebuah kedai besar yang terbuat dari beton dihadirkannya di dekat jalan raya baru, sederetan  dengan kios yang di kanan (kalau dilihat dari arah danau). Masih ada satu warung lagi yang ia munculkan. Bahannya kayu. Letaknya di ujung kanan,  menghadap danau.

Putranya, Amani Asi (Gisson Sirait) yang menempati kedai besar. Beristrikan boru Tampubolon, Amani Asi berkedai nasi dan teh-kopi di sana. Piawai marhasapi, murid maestro Opera Batak, Tilhang Gultom,   ini sebelumnya tinggal di Belawan.

Warung dari kayu dihuni oleh Nai Anggiat, kakak Amani Asi.  Ditemani anaknya semata wayang, Anggiat Situmeang, Nai Anggiat juga berkedai.

Tigaraja, wajah di kejauhan (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Perairan di pelabuhan milik pemerintah cetek sehingga sulit disandari kapal-kapal kayu terutama yang berukuran agak besar. Sementara punya Tokke Pinggir cukup dalam karena berjarak dengan delta Pea yang berlumpur tebal. Alhasil, ke sanalah alat transportasi danau merapat.

Bukan lagi bayangan, untuk seterusnya hingga puluhan tahun kemudian tempat inilah yang menjadi pelabuhan yang sesungguhnya. Sementara yang di sebelah, menjadi semacam kerakap yang tumbuh di batu: hidup segan, mati tak mau. Dari sekian banyak kiosnya—bahannya juga dari kayu—hanya Subur, kedai nasi milik keluarga Siallagan asal Horsik yang menyajikan ikan bakar bersambal tombur, yang sehat-sejahtera.

BERPALING KE AJIBATA

Di paruh kedua 1970-an  pemerintah Tapanuli Utara (Taput)  memberlakukan ketentuan yang sangat menohok Tigaraja. Semua kapal yang berasal dari kabupaten ini wajib berlabuh di Ajibata. Demikian regulasi yang diteken Bupati Kolonel Sinta Mardame Sinaga (nantinya dia mendirikan Hotel Silintong, miliknya di Tuktuk Siadong).

Tigaraja wilayah Kabupaten Simalungun. Sedangkan Ajibata,  Pulau Samosir, dan sebagian besar perairan di kawasan Danau Toba menjadi bagian dari Taput di masa itu. Haranggaol dan Tigaras sebenarnya masuk Simalungun tapi warganya tidak berbelanja ke Tigaraja karena sudah lebih dekat ke Pematang Siantar.

Tidak main-main Pemkab Taput dalam menjalankan aturan tadi.  Awak kapal yang melanggar akan diganjar keras. Alhasil, untuk kali pertama sejak Indonesia merdeka Pokkan Tigaraja menjadi lengang pada Sabtu. Itu sempat berlangsung beberapa bulan.

Bus PMH tetap berpangkalan di kanan depan Balerong sebab pelataran seluas itu tak tersedia di Ajibata. Penumpang asal Pulau Samosir tentu menjadi repot. Terlebih kalau bawaannya sedang banyak dan berat pula. Pada sisi lain, angkutan dalam kota belum ada.

Di saat Tigaraja limbung, beberapa pedagang yang sekian lama berbisnis di sana kemudian berpaling. Amani Bentin-Nai Bentin, Amani Miat Manurung, Nan Rusmina Hutabarat (istri Beodem Tampubolon), dan Amani Arifin Sirait pindah ke deretan kanan kios milik Tokke Pinggir. Amani Miat adalah hela [menantu] Tokke Pinggir.

Tanpa meninggalkan toko materialnya yang terletak di kanan rumah Sintua Patia Simangunsong di Tigaraja, Amani Walter Sirait—Nai Walter  (Ompu Sunggul) juga ikut berbisnis di Ajibata. Tetap berkonsentrasi pada bahan bangunan, seperti yang lain  kakek Josdi Situmorang ini menyewa bilik Tokke Pinggir juga. Pasangan ini dibantu oleh cucu sulungnya, Hasoloan Sirait (Has; putra pimpinan Vocal Group Solu Bolon, Walter Sirait) yang didatangkan dari Medan. Ruko mereka yang di Tigaraja diteruskan oleh Aman Sunggul sekeluarga.

Pangkalan minyak kami juga pindah ke Ajibata. Kami memang memiliki lahan di sana yang sekian lama menganggur. Letaknya tak jauh dari pelabuhan. Langganan—terutama kapal dan speed boat—yang  di Tigaraja terpaksa kami korbankan.

Pedagang kain-ulos yang sekian lama berjualan di Balerong ada juga yang berpaling ke pelabuhan bayangan Ajibata. Nai Hotdi (istri Guru James Sirait), termasuk.

Tigaraja nyaris lumpuh beberapa lama. Bus PMH pun akhirnya pindah ke Ajibata. Kecewa dan marah melihat keadaan, sejumlah anak muda Tigaraja bertindak. Di simpang ke Ajibata mereka memasang rintangan agar kendaraan tak boleh masuk atau keluar, tatkala hari pasaran utama, Sabtu,  tiba.

Aksi ini ternyata memunculkan reaksi dari warga Ajibata. Ketegangan sempat terjadi dia antara dua kelompok yang sejumlah unsurnya sebenarnya masih berkerabat atau berkawan lama. Sejak ‘baheula’ kedua wilayah ini bertaut erat. Bukan semata karena  pernikahan, orang Ajibata sedari dulu banyak yang cari makan di Tigaraja. Termasuk kakak-adik yang menjadi andalan klub sepakbola Tunas Muda Club (TMC), Kolen—Muin Gurning.

Dolok Siponggung dan Lumban Suhisuhi (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Untunglah ketegangan itu tak berlama-lama. Mereka akhirnya berdamai dan mencoba realistis. Tigaraja dan Ajibata pun menjadi pelabuhan-pokkan yang menghidupi diri masing-masing. Dinamikanya tentu tak sama.

NESTAPA TIGARAJA

Kesurutan langsung membayangi Tigaraja begitu Ajibata mulai dijamah mesin pembangunan rezim Orde Baru. Ketentuan bahwa semua kapal dari Kabupaten Taput wajib berlabuh di Ajibata menjadi semacam ‘skak’ yang hampir mematikan kawasan yang berjantungkan Balerong. Untunglah masih ada kompromi.

Kapal dan solu-solu [perahu bermesin yang badannya dari kayu] asal Tomok dan Tuktuk tetap boleh berlabuh di Tigaraja. Selain mengangkut warga, alat transportasi ini juga menyeberangkan para turis termasuk yang berasal dari mancanegara.  Nanti, sejak tahun 1982, kedua tempat ini mulai mengambil alih kedudukan Parapat sebagai daerah tujuan wisata utama di kitaran Danau Toba.   Dan,  itu berlanjut hingga kini.

Tigaraja dengan sendirinya harus menyesuaikan diri dengan zaman yang sontak berubah. Tidak lagi menjadi pangkalan komoditas yang keluar-masuk Pulau Samosir, ia laksana manusia yang sudah diamputasi sebelah tangan dan kakinya.  Tertolong karena pasar Ajibata  sejak dibangun tak kunjung berfungsi kecuali segelintir  rukonya. Warga kawasan ini masih saja lebih suka  marpokkan [berpekan]  di Tigaraja.

Tiada lagi kegiatan  bongkar-muat barang secara masif di pelabuhannya. Dengan demikian cuma pasar saja yang pelaku transaksinya lebih banyak pemain lokal.  Demikianlah Tigaraja seterusnya hingga hari ini. 

Suatu waktu, deretan kios yang ditempati Aman Ranto-Nan Ranto dan yang lain pun dibongkar otoritas negara. Demikian juga yang berbanjar di tepi danau, tempat Amani Bentin-Nai Bentin dan yang lain lama berjualan. Para pedagang itu disarankan untuk pindah ke kiri-kanan Balerong. Tentu saja mereka keberatan sebab lokasi itu jauh dari strategis. Kecuali satu-dua, bilik-bilik di sana sangat lama terlantar. Sedari dulu, hanya yang di kanan-dekat Balerong saja yang lumayan hidup dan itu pun satu-dua saja. (Bersambung)